TOP NEWS

berbagai kabar berita yang berguna, bermanfaat, kreatif, pionir, unik, mengandung edukasi dan menambah wawasan

Hak Setiap Muslim Mencegah Kemunkaran


Seorang pemimpin wajib mencegah kemunkaran dengan tangannya melalui kekuasaannya

Hak Setiap Muslim Mencegah Kemunkaran

ilustrasi: Tim Pemburu Maksiat


KEMUNKARAN adalah segala bentuk kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala seperti zina, LGBT, korupsi, khalwat, berjudi, minum minuman keras, menipu, membunuh, pergaulan bebas, pacaran, berboncengan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, menampakkan aurat, dan sebagainya, dan segala bentuk penyimpangan terhadap syariat Islam seperti ajaran sesat, syirik, perdukunan, bid’ah, khurafat dan maksiat lainnya.
Selama ini kita menemukan banyak kemunkaran di sekitar kita. Di antaranya pergaulan bebas berupa pacaran dan berboncengan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Namun, tidak ada seorangpun dan tidak ada aturan yang melarang kemunkaran tersebut dan yang memberi sanksi atas pelanggaran syariat ini. Padahal perbuatan itu maksiat terang-terangan. Perbuatan ini melanggar syariat dan hukumnya haram. Selain itu, maksiat tersebut jalan menuju maksiat lain seperti zina dan khalwat.
Parahnya lagi, pacaran dan berboncengan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahrammenjadi suatu trend saat ini dan ramai diminati oleh para pelanggar syariat. Hal ini dikarenakan kemunkaran tersebut sudah menjadi “kebiasaan” yang tidak dilarang dan dikenakan sanksi. Maksiat tersebut tidak dianggap sebagai bentuk pelanggaran syariat dan tidak pula dianggap suatu dosa dan aib yang memalukan.
Selain itu, kemunkaran berupa syirik, perdukunan, bid’ah dan khurafat banyak terjadi di mana-mana dengan bebasnya. Begitu pula kemunkaran berupa paham/aliran sesat seperti syiah, sekulerisme, plurarisme, liberalisme, dan sebagainya. Semua kemunkaran tersebut merajalela dalam masyarakat tanpa ada upaya dari pemimpin, ulama, dan da’i dalam mengingkari dan melarang kemunkaran tersebut. Kalaupun ada, hanya sedikit para ulama dan da’i yang peduli persoalan ini dan berani melarangnya. 
Setiap muslim wajib melaksanakan amar ma’ruf (menyeru berbuat kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemunkaran) sesuai kemampuannya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyeru (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah daripada yang Munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104). Imam Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata: “Maksud ayat ini adalah, harus ada sekelompok dari umat ini yang melakukan tugas dakwah, meskipun sebenarnya dakwah itu merupakan kewajiban bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:“Barangsiapa di antara kamu melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka ubah dengan lisan. Jika tidak sanggup, maka dengan hati. Yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa setiap muslim wajib mencegah kemunkaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik dengan tangan, lisan ataupun hatinya.
Berdasarkan kedua dalil tersebut, maka para ulama sepakat mengatakan bahwa melaksanakan amar ma’ruf dan nahi nunkar hukumnya wajib kifayah sesuai kemampuannya. Meskipun demikiankewajiban ini bisa menjadi wajib a’in bila tidak ada orang yang melaksanakannya di suatu komunitas masyarakat atau kampung.
Setiap muslim wajib mencegah kemunkaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing, baik dengan tangan, lisan ataupun hatinya. Seorang pemimpin wajib mencegah kemunkaran dengan kekuasaannya. Seorang ulama, ustaz dan da’i wajib mencegah kemunkaran lewat khutbah, ceramah dan pengajian. Begitu pula lewat tulisan, baik artikel dan maupun buku. Bila tidak mampu dengan tangan dan lisan, maka dengan hati yaitu membenci kemunkaran tersebut. Ibnu Mas’ud r.a berkata: “Mungkin di antara kalian ada mengetahui kemunkaran, tapi ia tidak mampu memberantasnya. Ia hanya bisa mengadu kepada Allah Subhanahu Wata’ala bahwa ia benci kemunkaran itu.”
Syaikh Dr. Mushthafa Dieb Al-Bugha berkata: “Mampu mengetahui hal-hal yang ma’ruf dan mengingkari hal-hal yang Munkar melalui hati merupakan fardhu ‘ain bagi setiap individu muslim, dalam kondisi apapun. Adapun yang dikatakan lemah atau tidak mampu adalah kondisi di mana dimungkinkan jika ia mengingkari kemunkaran dengan tangan atau lisan adanya suatu bahaya yang akan menimpa dirinya atau hartanya, dan ia tidak mampu menanggung itu semua. Jika kemungkinan ini tidak ada, maka tetap diwajibkan untuk memberantas kemunkaran dengan tangan atau lisan. (Al-Wafi, hal. 290)
Oleh karena itu, setiap muslim wajib mencegah kemunkaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik dengan tangan, lisan atau hatinya. Seorang pemimpin wajib mencegah kemunkaran dengan tangannya melalui kekuasaannya. Seorang ulama, ustaz dan da’i wajib mencegah kemunkaran dengan lisannya melalui khutbah, ceramah dan pengajian. Begitu pula melalui tulisan. Bila tidak mampu dengan tangan dan lisan/tulisan, maka dengan hati yaitu membenci kemunkaran tersebut.
Meridhai perbuatan dosa dan kemunkaran hukumnya dosa besar. Nabi Saw bersabda: “Jika satu kemaksiatan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya tapi membencinya, seperti orang yang tidak mengetahuinya. Sedangkan orang yang mendengar dan merestuinya, ia seperti orang yang melihatnya.” (HR. Abu Daud).
Oleh karena itu, siapa yang mengetahui perbuatan dosa, dan ia ridha terhadap dosa tersebut, maka dia telah melakukan dosa besar, baik dia melihat secara langsung atau mendengar. Ini tidak lain karena ia telah ridha terhadap suatu dosa berarti tidak mengingkari dosa tersebut, meskipun dengan hati. Padahal mengingkari dosa dengan hati hukumnya  fardhu ‘ain,sedangkan meninggalkan fardhu ‘ain itu termasuk dosa besar.
Melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sifat orang mukmin. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang Munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.”(At-Taubah: 71). Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya: “Allah telah menjadikan amar ma’ruf dan nahi Munkar sebagai pembeda antara orang mukmin dan munafik. Dengan demikian, hal ini menunjukkkan bahwa di antara ciri-ciri yang paling istimewa dari orang-orang yang beriman adalah amar ma’ruf dan nahi munkar.” 
Allah Subhanahu Wata’ala memuji umat Islam sebagai umat yang terbaik karena mereka melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang Munkar”. (Ali Imran: 110)
Setiap pemimpin wajib menegakkan syariat Islam dan melakukan amar ma’ruf dan nahi Munkar. Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang jika kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang Munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Al-Hajj: 41). Syaikh Dr. Ali Abdul Halim Mahmud berkata: “Mencegah dari kemunkaran dalam ayat tersebut adalah salah satu dari empat amal perbuatan yang wajib dilakukan oleh mereka yang diberikan kekuasaan dan kepemimpinan di muka bumi, dengan agama, manhaj, dan sistem Allah Subhanahu Wata’ala.” (Fikih Responsibilitas, hal. 123)
Mengabaikan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar sama saja mengundang bencana atau azab Allah Subhanahu Wata’ala. Jika kita hanya berdiam diri menyaksikan kemunkaran di sekitar kita tanpa ada upaya pencegahan sesuai dengan kemampuan kita, maka Allah akan menimpakan bencana atau azab-Nya kepada kita di dunia maupun di akhirat.
Begitu pula mentolerir kemunkaran bagi yang mampu menghentikannya berarti meridhai dan melegalkan kemunkaran tersebut. Bila kemunkaran atau kemaksiatan itu telah merajelela dan tidak ada yang melakukan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan timpakan bencana (azab)-Nya, karena penyebab utama turunnya azab Allah Subhanahu Wata’ala adalah kemaksiatan yang merajalela. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Dan tidaklah Kami membinasakan Kami membinasakan suatu negeri kecuali penduduknya melakukan kezaliman.” (Al-Qashash: 59). Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-‘Araf: 96).
Bencana atau azab itu datang tidak hanya menimpa para pelaku maksiat saja, namun juga menimpa orang-orang  yang shalih dalam komunitas tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Dan Takutlah kamu sekalian akan siksa yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja.” (Al-Anfal: 25). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Allah Subhanahu Wata’ala menyuruh kaum mukminin untuk tidak melegalkan kemunkaran yang terjadi pada mereka. Jika tidak, Allah akan menimpakan azab secara menyeluruh kepada mereka”.
Zainab Ummul Mukminin radhiyallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan dibinasakan, sedangkan orang-orang shalih di tengah-tengah kita? Rasulullah saw bersabda: “Ya, jika kejahatan merajalela. (HR. Muslim). Rasulullah saw juga bersabda: “Sesungguhnya manusia jika melihat kemunkaran tapi tidak menghentikannya, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan menimpakan hukuman kepada mereka secara menyeluruh.” (HR. Tirmizi).
Bencana atau azab di dunia itu berupa kelaparan , kekeringan, gempa, banjir, kebakaran, gunung meletus, tsunami dan sebagainya. Selain itu, bisa jadi berupa rasa takut, tidak aman, dan merajalelanya maksiat seperti pembunuhan, pemukulan, khalwat, zina, mabuk-mabukan, korupsi, penipuan, perampokan, dan sebagainya.
Adapun bencana atau azab Allah di akhirat berupa laknat dan azab Allah kepada orang-orang yang tidak mau melaksanakan nahi munkar (mencegah kemunkaran), sebagaimana yang pernah menimpa bani Israil. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan (ucapan) Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas . Mereka tidak saling mencegah perbuatan Munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang selalu mereka perbuat. (Al-Maidah: 78-80).
Selain itu, Allah Subhanahu Wata’ala melaknat orang-orang yang tidak mau menyuruh kepada kebaikan  dan tidak mau melarang kemunkaran. Rasulullah saw bersabda, “Tidak, demi Allah kalian akan benar-benar menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang Munkar, atau Allah akan menyiksa dengan dengan hati sebahagian kalian atas sebahagian yang lain, kemudian Allah akan melaknati kalian sebagaimana melaknati mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selama ini berbagai bencana telah menimpa bangsa Indonesia seperti konflik di Aceh dan papua, rasa takut dan tidak aman, kebakaran, gempa, longsor, banjir, sampai bencana terbesar Tsunami di Aceh dan sebagainya. Kita tidak tahu pasti apakah bencana ini merupakan ujian, teguran atau azab. Yang jelas, selama ini kemunkaran telah merajalela di sekitar kita, namun kita tidak mencegah kemunkaran tersebut. Akibatnya, Allah Subhanahu Wata’ala menimpakan berbagai bencana kepada kita. Bisa jadi ini azab dari Allah. Maka, mari kita introspeksi diri dan waspada terhadap bencana atau azab Allah Subhanahu Wata’ala yang datang secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan. Tentu introspeksi kita dengan cara mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi Munkar.
Mengingat amar ma’ruf dan nahi Munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan kemampuan, maka tidak ada alasan bagi kita meninggalkannya. Terlebih lagi meninggalkan amar ma’ruf dan nahi Munkar bisa berdampak buruk terhadap individu, masyarakat, bahkan negara. Semoga kita komitmen dan konsisten dalam mengamalkan syariat, termasuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi Munkar.*

0

Mengapa Wanita Sulit Percaya Kalau Ada yang Memujinya Cantik?



Wanita biasanya akan percaya tentang hampir semua komentar negatif yang kamu ucapkan tentangnya. Namun berbeda dengan komentar positif, jarang wanita mempercayainya. Penyebabnya sulit kita ketahui.
Mungkin penyebabnya karena biasanya pria memuji wanita kalau ada “maunya.” Alasan lainnya bisa jadi karena standar cantik yang ada di majalah dan televisi. Apa pun alasannya, wanita sudah sangat terlatih melindungi dirinya dari pujian, terutama lewat tidak mempercayainya.
Pertanyaannya, mengapa wanita menyimpan komentar buruk seumur hidupnya? Sementara itu mengapa wanita mengabaikan komentar baik tentangnya? Mengapa wanita selalu ingat yang buruk namun lupa yang baik?

Mengapa wanita hanya percaya hal-hal negatif yang orang bicarakan tentangnya?

Mungkin penyebabnya adalah kegelisahan yang wanita alami. Wanita merasa butuh untuk terlihat sangat sempurna. Sementara itu, di lubuk hatinya dia sadar kalau dirinya tidak akan pernah bisa sempurna.
Itulah sebabnya saat dipuji, wanita menganggap, “Ah, itu mah bohong.” Ada berbagai lintasan pikiran yang muncul di kepalanya.
“Bagaimana bisa saya jadi cantik? Perutku berlemak. Pahaku gemuk. Hidungku pesek. Telingaku terlalu besar. Aku tidak bisa menjadi cantik, aku ini tidak sempurna.”
Di tengah budaya pop saat ini, tiap hari wanita melihat foto-foto model dan selebritis yang gambarnya sudah “dipermak.” Akhirnya wanita berusaha untuk ikut memenuhi standar yang sebenarnya tak mungkin.
Tiap hari wanita mendengar kalau model dan selebritis itulah yang cantik, yang sempurna. Sementara dirinya hanya kelas dua, versi kw yang tak sempurna.
Untuk mengubah mentalitas yang merusak ini, yang membuat wanita tidak bisa menerima pujian, kita perlu mencari tahu akar masalahnya. Sebenarnya, mengapa wanita tidak bisa percaya kalau dirinya cantik?

Kalau pria bisa berbohong tentang apa saja, mengapa wanita harus mempercayai pujian darinya?

Butuh waktu lama bagi seorang anak perempuan untuk menyadari kalau laki-laki bisa tidak sungguh-sungguh mengatakan sesuatu.
Setiap wanita akan memahami fakta bahwa banyak pujian yang pria katakan itu tidak benar. Atau lebih buruk lagi, pria mengatakannya pada semua wanita yang ia temui.
Begitu wanita menyadarinya, dia jadi sangat kecewa. Bagaikan anak-anak yang kehilangan kepolosannya, semua hal indah yang dulu mereka percayai kini menghitam. Semua pujian yang pria katakan jadi terasa kosong. Wanita jadi menganggap, saat seorang lelaki memuji, pasti ada udang di balik batu.

“Kalau wanita di sampingku itu cantik, bagaimana bisa aku juga cantik?”

Kecantikan wanita lain tidak akan menghilangkan kecantikan yang ada pada dirimu.
Kalimat di atas harus wanita ucapkan pada dirinya sendiri setiap pagi. Jika tidak, dia tidak akan menghargai kecantikannya sendiri, apalagi di tengah-tengah budaya yang mengagungkan riasan bedak dan gincu seperti sekarang ini.
Terkadang, jika seorang wanita melihat wanita cantik lain yang memiliki jenis kecantikan yang tidak dia miliki, dia langsung lupa akan kecantikannya sendiri dan jadi menginginkan kecantikan wanita yang ia lihat.
Semua yang ada pada dirinya jadi hilang. Dia jadi tidak menghargai dirinya sendiri dan menganggap dirinya wanita kelas dua.
Mengapa wanita melakukan hal ini? Mengapa wanita menganggap hanya karena wanita lain cantik lalu dirinya tidak bisa jadi cantik juga? Mengapa kecantikan wanita lain tidak bisa membuatnya teringat akan kecantikan yang ia miliki?

“Kalau saya punya kekurangan, bagaimana bisa saya jadi cantik?”

Sejak kapankah satu “kekurangan” merusak keseluruhan? Kapankah satu jari kaki yang terlihat gemuk membuat seluruh tubuh jadi jelek? Kapankah seorang wanita mulai terlalu menekankan pada titik lemahnya?
Padahal, sebagian besar “titik lemah” wanita itu tidak benar-benar lemah. Justru itulah yang membedakan dirinya dari yang lain. Itulah yang membuat dirinya unik di tengah-tengah perang kecantikan standar yang digaungkan media.
Cindy Crawford pernah bilang, “Bukankah ironi, hal yang membuatku merasa paling tidak nyaman ternyata menjadi ciri khasku?”
Aneh, bagaimana bisa seorang wanita menerima keunikan wanita lain dan “kekurangannya” sebagai ciri khas. Sementara itu saat melihat keunikannya sendiri, dia malah menganggap itulah yang membuatnya bertambah tidak sempurna.

“Kalau semua orang itu cantik, bukankah kata cantik itu jadi tidak ada artinya?”

Mungkin wanita sudah tidak memaknai kata itu lagi. Mungkin kita perlu mencari kata lain yang langka wanita dengar di kehidupannya sehari-hari. Mungkin kita perlu mengembalikan kata cantik itu agar tidak diobral ke siapa pun.
Banyak wanita tidak lagi percaya kata cantik karena mereka sering mendengar para pria mengucapkannya pada setiap wanita yang pria temui. Wanita jadi tidak percaya lagi bukan karena dia menganggap banyak wanita itu tidak cantik.
Hanya saja wanita berharap para pria hanya mengucapkan kata itu begitu sang pria mengerti dan benar-benar mengapresiasi kecantikannya.
Yang ada sekarang kata cantik itu bukan pujian, namun kata standar yang pria ucapkan saat ada maunya. Namun, wanita perlu menyadari bahwa walau kata cantik itu sering diucapkan, bukan berarti dirinya tidak cantik lagi.


0

3 Cara Memuliakan Tamu Dalam Islam


Sebagai muslim yang beriman, memuliakan tamu adalah wajib hukumnya. Ini sesuai dengan hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Adab Bagi Tuan Rumah


www.kabarmakkah.com
www.kabarmakkah.com

  1. Di antara adab dalam menerima tamu adalah mengajak mereka mengobrol dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak mengeluh atas kehadiran mereka, tidak tidur sebelum mereka tidur, tersenyum ramah (bermuka manis) ketika tamu datang, dan merasa kehilangan(sedih) saat mereka pulang.
  2. Dalam menyajikan hidangan untuk para tamu janganlah berniat untuk bermegah – megahan, namun niatkan untuk mencotoh Nabi Muhammad SAW dan para Nabi sebelumnya, seperti dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ;alaihis salam. Beliau mendapat gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena kemuliaannya dalam menjamu tamu – tamunya.
Menghormati tamu dengan cara memberikan jamuan hendaknya semampunya saja, namun tetap harus dilakukan dengan sebaik – baiknya. Ini sesuai dengan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang tertuang dalam firman Allah:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)


0